HABIB HUSEIN AL-MUTHAHAR, PENCIPTA LAGU "17 AGUSTUS TAHUN 45"
Habib Muhammad Husein Muthahar tidak hanya dikenal sebagai penyelamat
bendera pusaka dan pendiri Paskibraka saja, tetapi beliau juga seorang
komponis lagu Indonesia yang hebat. Habib yang dikenal dengan nama H.
Mutahar ini telah menghasilkan ratusan lagu Indonesia, seperti lagu
nasional Hari Merdeka, Hymne Syukur, Hymne Pramuka, Dirgayahu
Indonesiaku, juga lagu anak-anak seperti Gembira, Tepuk Tangan
Silang-silang, Mari Tepuk, dan lain-lain. Lagu Hari Merdeka dan Hymne
Syukur adalah salah satu lagu fenomenal yang diciptakan oleh Habib
Muhammad Husein Muthahar.
Terkait penciptaan lagu Hari Merdeka,
ada satu cerita yang menarik. Ternyata inspirasi lagu Hari Merdeka ini
muncul secara tiba-tiba saat beliau sedang berada di toilet salah satu
hotel di Yogyakarta. Bagi seorang komponis, setiap inspirasi tidak boleh
dibiarkan lewat begitu saja. Beliau pun cepat-cepat meminta bantuan Pak
Hoegeng Imam Santoso (Kapolri pada 1968–1971). Saat itu Pak Hoegeng
belum menjadi Kapolri.
Sang Habib menyuruh Pak Hoegeng untuk
mengambilkan kertas dan bolpoin. Berkat bantuan Pak Hoegeng, akhirnya
jadilah sebuah lagu yang kemudian diberi judul “Hari Merdeka”. Sebuah
lagu yang sangat fenomenal dan sangat terkenal yang banyak dinyanyikan
oleh bangsa Indonesia, bahkan anak-anak pun sangat hafal dan pandai
menyanyikannya.
Berikut lirik lagu "Hari Merdeka" ciptaan Habib Muhammad Husein Muthahar:
Tujuh belas Agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih di kandung badan
Kita tetap setia tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita
Selain “Hari Merdeka”, lagu berikut juga menjadi karya fenomenal
beliau. Judulnya “Syukur”. Lagu ini tercipta dibuatnya pada tanggal 7
September 1944 setelah menyaksikan banyak warga Semarang, kota
kelahirannya, bisa bertahan hidup dengan hanya memakan bekicot. Berikut
lirik lagunya:
Dari yakinku teguh
Hati ikhlasku penuh
Akan karuniamu
Tanah Air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
KehadiratMu Tuhan
Sekilas Tentang Habib Husein Muthahar
"Husein Mutahar", begitu nama latinnya, lahir di Semarang, Jawa Tengah
pada tanggal 5 Agustus 1916. Perjalanan pendidikan formalnya dimulai
dari ELS (Europese Lagere School atau sama dengan SD Eropa selama 7
tahun) , kemudian dilanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Ondewwijs
atau sama dengan SMP selama 3 tahun) dan dilanjutkan ke AMS (Algemeen
Midelbare School atau sama dengan SMA selama 3 tahun) Jurusan Sastra
Timur khususnya Bahasa Melayu, di Yogyakarta. Kemudian beliau
melanjutkan ke Universitas Gajah Mada dengan mengambil Jurusan Hukum dan
Sastra Timur dengan khusus mempelajari Bahasa Jawa Kuno. Namun
perkuliahannya hanya 2 tahun, drop out (DO) karena harus ikut berjuang.
Habib Husein Muthahar terlibat Pramuka sejak awal lembaga kepanduan
berdiri. Beliau adalah salah seorang tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia,
gerakan kepanduan independen yang berhaluan nasionalis. Ia juga dikenal
anti-komunis. Ketika seluruh gerakan kepanduan dilebur menjadi Gerakan
Pramuka, Habib Husein Muthahar juga menjadi tokoh di dalamnya.
Dalam kehidupan berorganisasi, pengalaman beliau adalah sbb :
1. Ikut mendirikan dan bergerak sebagai pemimpin Pandu serta kemudian
menjadi anggota Kwartir Besar Organisasi Persatuan dan Kesatuan
Kepanduan Nasional Indonesia "Pandu Rakyat Indonesia", 28-12-1945 s.d.
20-5-1961.
2. Ikut mendirikan dan bergerak sebagai Pembina Pramuka,
duduk sebagai anggota Kwartir Nasional Gerakan Pramuka dan Andalan
Nasional Urusan Latihan, 1961-1969.
3. Sekretaris Jenderal Majelis Pembimbing Nasional Gerakan Pramuka, 1973 -1978, dan anggota biasa, 1978-2004.
Habib Muhammad Husein Muthahar, yang juga mantan duta besar Italia ini,
kemudian meninggal dunia di Jakarta tanggal 9 Juni 2004 di usia 88
tahun.
Walaupun beliau berhak dimakamkan di Makam Taman Pahlawan
Kalibata karena memiliki Tanda Kehormatan Negara Bintang Mahaputera
atas jasanya menyelamatkan Bendera Pusaka Merah Putih dan juga memiliki
Bintang Gerilya atas jasanya ikut berperang gerilya pada tahun
1948-1949, tetapi beliau tidak menginginkan itu. Sesuai dengan wasiat
beliau, akhirnya pada 9 Juni 2004 beliau dimakamkan sebagai rakyat biasa
di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Jeruk Purut Jakarta Selatan.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !