Oleh : Ahmad Millah Hasan
POLITIK itu dunia tanpa ’’titik’’. Ibarat kata, politik itu selalu pakai tanda baca ’’koma’’. Politik terus berkembang sesuai kepentingan elite politik. Karena itu, dalam politik, tidak ada lawan dan kawan abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi. Hari ini masih kedelai, besok menjadi tempe.
Itulah gambaran tentang peta politik nasional belakangan ini. Koalisi
Merah Putih (KMP) terlihat masih dominan, membuat Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) tak berdaya di DPR. Dominasi tersebut terbukti dengan
keberhasilan mereka memenangi voting pilkada tak langsung.
Bukan hanya itu, mereka juga merebut dua posisi strategis, yaitu
ketua DPR dan ketua MPR. Terakhir, yang akan direbut adalah posisi ketua
komisi. Belum lagi, jumlah komisi yang rencana hendak ditambah. Selain
sarat dengan akal-akalan bagi-bagi jabatan, pemekaran komisi
menghambur-hamburkan uang negara. Jika niat itu terealisasi, KMP
berhasil menyabet semua posisi di parlemen.
Hal tersebut menambah panjang daftar kegagalan KIH dalam perebutan
pimpinan strategis lembaga di Senayan. Fakta itu menciptakan kegalauan
di kalangan pendukung Joko Widodo (Jokowi). Mereka khawatir pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla tak berlangsung lama.
Sapu bersih kekuasaan di parlemen oleh KMP memunculkan dugaan adanya skenario impeachment atau penjegalan sebelum pelantikan 20 Oktober. Padahal, tidak semudah itu melakukan langkah impeachment.
Situasi yang dialami Jokowi berbeda dengan Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) yang diangkat MPR waktu itu. Posisi Jokowi sebagai presiden
terpilih sangat kuat. Jokowi adalah presiden RI ketujuh berdasar
Keputusan KPU Nomor 535/KPTS/KPU/2014 dan putusan MK pada 21 Agustus
2014.
Pimpinan DPR, MPR, dan DPD telah menyatakan siap menyukseskan
pelantikan Jokowi-JK pada 20 Oktober. Dengan begitu, semua pihak tak
terlalu mengumbar paranoid politik kepada masyarakat. Tak perlu juga
menebar informasi tentang kekosongan kekuasaan lewat media sosial.
Presiden terpilih Jokowi pasti dilantik sebagai presiden sesuai
amanat konstitusi, yakni pasal 9 ayat (1) UUD 1945 Amandemen. Disebutkan
dalam pasal dan ayat tersebut, ’’Sebelum memangku jabatannya, presiden
dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan
Perwakilan Rakyat...’’
Dasar lainnya, pasal 34 ayat 5, 6, dan 7 UU Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Disebutkan
dalam pasal 34 ayat 5 UU MD3, ’’Dalam hal MPR tidak dapat
menyelenggarakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), presiden dan
wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.’’
Sementara itu, pasal 5 UU MD3 tersebut menyebutkan, ’’Dalam hal DPR
tidak menyelenggarakan rapat paripurna sebagaimana ayat (5), presiden
dan wakil presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan
Mahkamah Agung.’’ Ayat 7 menyatakan, berita acara pelantikan presiden
dan wakil presiden ditandatangani oleh presiden dan wakil presiden serta
pimpinan MPR.
Kedua, secara struktur tata negara, tidak mudah menjatuhkan presiden
dalam sistem presidensial, apalagi presiden ini terpilih secara langsung
oleh rakyat. Berdasar penetapan rekapitulasi penghitungan perolehan
suara pemilu presiden, Jokowi-JK unggul jutaan suara atas pesaingnya,
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
KPU menyatakan pasangan Jokowi-JK memperoleh 70.997.833 suara atau
53,15 persen, sedangkan pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 62.576.444
suara atau 45,85 persen. Dengan demikian, ada selisih 8.421.398 suara.
Adapun jumlah total suara sah adalah 133.574.277.
Ketiga, sebagai presiden yang terpilih secara langsung, Jokowi akan
dibela rakyat. Relawan pendukung Jokowi akan tumpah ruah ke jalan dengan
titik pusat gedung DPR RI, jika terjadi apa-apa pada Jokowi. Kecuali,
Jokowi terbukti melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran konstitusi.
Namun, itu pun harus dibuktikan melalui proses politik yang rumit.
Keempat, belum lagi perkembangan peta politik pasca pelantikan
presiden dan wakil presiden terpilih pada 20 Oktober. Bukan tidak
mungkin ada partai yang menyeberang dari KMP menuju KIH, atau
sebaliknya. Peta politik di parlemen bisa berubah sangat cepat.
Terbukti, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hampir pasti bergabung ke
KIH. Hanya, partai berlambang Kakbah itu masih mengalami problem
internal.
Partai lain tinggal menunggu waktu. Yang pasti, Jokowi, sebelum
pelantikan, dipastikan berbeda dengan situasi setelah dilantik menjadi
presiden. Ibaratnya, sekarang Jokowi bukan siapa-siapa. Dia adalah
gubernur DKI yang beberapa hari lalu mundur. Jadi, Jokowi hanya presiden
terpilih yang di belakangnya ada rakyat yang memilihnya. Jokowi belum
punya wibawa presiden dan pemimpin negara. Bandingkan Prabowo yang kini
masih didukung Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penguasa.
Lepas dari itu, demokrasi di Indonesia kini menjadi perhatian dunia
internasional. Betapa tidak, di negeri dengan lebih dari 250 juta jiwa
ini, sebelum UU Pilkada yang baru, presiden hingga kepala desa dipilih
secara langsung. Meski harus diakui kualitasnya perlu diperbaiki,
demokrasi di Indonesia telah mengundang decak kagum masyarakat dunia.
Karena itu, kestabilan pemerintahan yang baru harus dijaga, terutama
para elite politik. Keamanan Indonesia akan berdampak pada aspek lain,
terutama ekonomi.
Sementara itu, presiden terpilih Jokowi sebaiknya tetap konsentrasi
dan fokus pada masalah ekonomi. Sebab, masalah geo-ekonomi menjadi tren
kebijakan negara di dunia dewasa ini. Kinerja kabinet yang konsisten
pada kesejahteraan rakyat dengan fokus menjaga kesehatan ekonomi.
Apalagi, sejak berakhirnya Perang Dingin, legitimasi ekonomi sebagai
faktor yang dominan untuk kestabilan suatu negara.
Dahulu, para politikus dianggap menyelamatkan dunia. Tapi, di era
globalisasi dewasa ini, justru pejabat publik di bidang ekonomi sebagai
pengambil kebijakan yang paling berperan dalam menstabilkan jalannya
pemerintahan. Pengalaman membuktikan, terjadinya reformasi drastis di
suatu negara, termasuk di Indonesia, diawali dengan krisis ekonomi
sehingga rezim Orba runtuh. Setelah itu, menjalar ke sektor politik.
Presiden terpilih Joko Widodo sebaiknya tak terlalu terjebak pada
masalah politik yang tidak substansional, tapi lebih fokus pada
pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan
ekonomi yang membawa kesejahteraan rakyat akan lebih menjamin
keberlangsungan pemerintahan pada masa mendatang.
*) Direktur Pusat Pemberdayaan dan Transformasi Masyarakat (Pesat) (ahmad_millah@yahoo.com)