KEMENANGAN pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla atas
pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada pilpres 9 Juli lalu masih berbuntut
panjang. Pasalnya, Koalisi Merah putih (KMP) sebagai pengusung Prabowo-Hatta
terus memberikan perlawanan. Kali ini, mereka kembali melakukan perlawanan
dengan upaya pengesahan RUU pilkada yang di dalamnya terdapat mekanisme
pemilihan kepala daerah tak langsung atau lewat DPRD. Usul pilkada lewat DPRD
mendominasi saat pembahasan RUU pilkada di DPR. Partai Golkar (106 kursi), PPP
(38 kursi), PAN (46 kursi), PKS (57 kursi), dan Partai Gerindra (26 kursi) yang
tergabung dalam Koalisi Merah Putih mendorong pilkada lewat DPRD. Demokrat (148
kursi) berpendapat sama. Jika tidak terjadi musyawarah mufakat, pengambilan
keputusan bisa dilakukan dengan voting. Total suara pendukung pilkada lewat
DPRD mencapai 421 kursi. Kini, peta politik bisa berbalik. Sebelumnya, hanya
tiga parpol yang mendukung mekanisme pilkada secara langsung, yakni PDIP (94
kursi), PKB (28 kursi), dan Partai Hanura (17 kursi). Belakangan, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ketua umum Partai Demokrat memilih
pilkada langsung oleh rakyat. Jika sikap SBY itu diikuti Fraksi Demokrat di
DPR, suara pendukung pilkada langsung di DPR mencapai 287 kursi. Sementara itu,
pendukung pilkada lewat DPRD sebesar 273 kursi. Terkait dengan sikap SBY
tersebut, tampaknya, pada akhir masa jabatannya, presiden enggan berlawanan
dengan gerakan arus bawah yang semakin kuat dan masif melawan kehendak KMP.
Apalagi, penolakan terhadap pilkada tak langsung juga muncul dari kepala daerah
yang juga kader partai dari KMP sendiri. Belum lagi desakan dari massa aktivis
prodemokrasi yang menilai pilkada tak langsung adalah kemunduran demokrasi.
Pada pilpres lalu, pasangan Jokowi-JK unggul cukup signifikan atas pasangan
Prabowo-Hatta. Sebagai pemenang pilpres, logikanya, Jokowi-JK lebih banyak
didukung rakyat dan besarnya dukungan itu merata di daerah. Belum lagi
pendukung Prabowo-Hatta di bawah yang sudah berpindah aliran. Data terkini,
menurut survei quick poll Lingkaran Survei Indonesia (LSI), mayoritas
konstituen dari parpol dalam KMP tak menyetujui kepala daerah dipilih DPRD.
Lebih dari 75 persen konstituen atau pemilih parpol Koalisi Merah Putih
menginginkan kepala daerah dipilih langsung, tidak melalui DPRD seperti yang
diinginkan koalisi. Perinciannya, sebanyak 81,20 persen pendukung Golkar
memilih pilkada langsung, Demokrat 80,77 persen, Gerindra 82,55 persen, PKS
80,23 persen, PAN 85,11 persen, PPP 76,66 persen, dan PBB 87,65 persen. Hasil
penelitian LSI itu dilakukan terhadap 1.200 responden. Penelitian diadakan pada
5 sampai 7 September 2014 dengan margin of error 2,9 persen. Survei dilakukan
di 33 provinsi lewat metode quick poll. Ada dua hal yang patut diperhatikan
dalam wacana ini. Pertama, substansi. Pilkada langsung maupun tidak langsung
sebenarnya sama-sama tidak bisa menghilangkan politik uang. Kecenderungan
politik uang hanya akan berpindah dari lapangan luas ke lapangan yang terfokus,
yaitu DPRD. Terkait itu, KPK akan mudah mendeteksi peredaran uang lantaran
wilayah persebaran yang terbatas di sekitar DPRD. Hasyim Muzadi adalah tokoh NU
yang sejak 2009 mengampanyekan pilkada tak langsung. Usul itu murni demi kemaslahatan
umat. Maksudnya, rakyat tak terlibat langsung dalam demokrasi transaksional
karena sudah diambil alih DPRD. Usul tersebut jelas berbeda motif dengan wacana
yang diusung KMP. Yaitu, menjadi penguasa di daerah. Kedua, aspek politis.
Pasal 6A UUD 1945 menegaskan bahwa pemilihan presiden dipilih langsung. Tentu,
dalam hal ini pemilihan kepala daerah harus disamakan dengan sistem pemilihan
presiden. Lebih jauh dinyatakan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa kepala
daerah dipilih melalui pemilu sebagaimana sistem pemilihan presiden. Bila dalam
RUU pilkada menggagas pilkada serentak bahwa gubernur dipilih langsung oleh
DPRD, jelas itu bertentangan dengan perundang-undangan. Di balik ngotot-nya
sikap KMP, rupanya mereka punya skenario lain setelah tumbang di pilpres.
Yaitu, ’’mengavling’’ kekuasaan di daerah lewat koalisi yang mereka bangun.
Terang saja, publik mudah menyimpulkan bahwa wacana penghapusan pilkada
langsung itu beraroma dendam pilpres. Di sisi lain, apa yang dilakukan KMP
adalah bentuk pragmatisme politik yang menanggalkan kepentingan rakyat, bangsa,
dan negara. Dan, bicara politik adalah bicara keuntungan. Jika kini fraksi di
DPR getol bicara pilkada tak langsung, itu dilakukan karena keuntungan yang
didapat tentu lebih besar. Namun, keuntungan tersebut hanya diperjuangkan untuk
kepentingan elite parpol, bukan rakyat. Karena itulah, wacana mengembalikan
pilkada oleh rakyat menjadi pilkada oleh DPRD ditentang rakyat. Perlawanan
paling nyata ditunjukkan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Thajaja Purnama atau
Ahok. Bahkan, sebagai bentuk perlawanan, dia dengan tegas menyatakan mundur
dari Partai Gerindra. Abraham Lincoln menyatakan, demokrasi adalah sistem
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara itu, menurut
Charles Costello, demokrasi adalah sistem sosial dan politik pemerintahan diri
dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk
melindungi hak-hak perorangan warga negara. Dan, menurut John L. Esposito,
demokrasi pada dasarnya adalah kekuasaan dari dan untuk rakyat. Karena itu,
semuanya berhak berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah. Selain itu, tentu saja, dalam lembaga resmi
pemerintah, terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif. Atas dasar itulah, pilkada tak langsung dinilai sebagai
kemunduran demokrasi dan merampas aspirasi rakyat. Menghapus pilkada tak
langsung sama dengan memasung hak suara rakyat. Bahkan, terlepas masih adanya
banyak kekurangan, demokrasi telah mengangkat nama baik Indonesia di mata
internasional sebagai negara berkembang yang bisa melaksanakan pemilihan secara
langsung dengan damai. Rakyat memang perlu tetap diberi kepercayaan untuk
menentukan pilihannya sendiri. Apalagi, DPR/DPRD selama ini kerap melakukan
perilaku yang mendistorsi dan melukai hati rakyat. Mereka lebih memilih
mengabdi kepada parpol ketimbang membela hak rakyat. Berdasar hasil survei
Cirus Surveyor Group awal tahun lalu, kepercayaan masyarakat terhadap DPR
ternyata rendah. Masalah itu terjadi karena DPR tidak menjalankan fungsinya
dengan baik. Survei tersebut menyebutkan bahwa 53,6 persen responden menilai
anggota DPR periode 2009–2014 tidak memperjuangkan kepentingan rakyat.
Kemudian, sebanyak 51,9 persen responden menilai anggota DPR belum melakukan
pengawasan terhadap pemerintah dengan baik. Terakhir, sebanyak 47,9 persen
responden menilai anggota DPR tidak membuat UU yang bermanfaat untuk
kepentingan rakyat. Hasil lainnya, sebanyak 60,1 persen responden merasa anggota
DPR tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. Kemudian, sebanyak 50,1 persen
responden merasa anggota DPRD kabupaten/kota tidak memperjuangkan aspirasi
mereka. Lalu, sebanyak 58,4 persen responden merasa anggota DPRD provinsi juga
tidak memperjuangkan aspirasi rakyat. *) Direktur Pusat Pemberdayaan dan
Transformasi Masyarakat (Pesat) (ahmad.millah@gmail.com)
Jawa Pos : Rabo, 17 September 2014